Cinta
terbentuk berdasarkan informasi yang diterima oleh publik, baik secara langsung
maupun melalui media massa. Citra kepada publik terwujud sebagai konsekuensi
kognitif dari komunikasi. Citra politik dapat dirumuskan sebagai suatu gambaran
tentang politik (kekuasaan, kewewenangan, autoritas, konflik dan konsensus)
yang memiliki makna, walaupun tidak selamanya sesuai dengan realitas. Citra
poitik tersusun melalui persepsi yang bermakna tentang gejala politik dan
kemudian menyatakan makna itu melalui kepercayaan, nilai dan pengharapan dalam
bentuk pendapat pribadi yang selanjutnya dapat berkembang menjadi pendapat
umum.
Pencitraan
politik yang sangat menonjol sekarang ini adalah industri media massa, dimana
media memiliki kemampuan dalam mengkontruksi realitas. Artinya, kekuatan dalam
mengemas berbagai isu yang ada, sehingga menonjol ke permukaan dan akhirnya
menjadi perbincangan publik (public discourse) yang menarik. Penguasaan
atas media tentu dapat menguasai opini publik dan akan memudahkan mengarahkan
kecenderungan pilihan khalayak sesuai dengan yang diharapkan.
Opini
dalam perspektik komunikasi daipandang sebagai respon aktif terhadap stimulus
yakni respon yang dikontruksi melalui interpretasi pribadi yang berkembang dari
citra dan menyumbang citra. Maka sangat strategis bagi politisi yang bertarung
memiliki perhatian pada politik pengemasan opini publik.
Meskipun
realitas media merupakan polesan yang tidak sesuai dengan fakta dan realitas
tetapi banyak juga khalayak yang begitu saja menerima informasi dari media
massa, baik karena rendahnya pendidikan ataupun karena kelalaian. Hal ini
menunjukkan bahwa media massa dapat membentuk citra politik individu-individu
yang menjadi khalayak media massa kearah yang dikehendakinya. Media massa juga
dapat mempertahankan citra politik yang sudah dimilikinya, kedua hal ini
dilakukan oleh media melalui getekeeping dan agenda setting.
Dengan
demikian dapat dijelaskan bahwa berita politik, tokoh politik partai politik
dan kebijakan politik dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda dan citra
politik yang berbeda bagi masing-masing orang.
Pencitraan politik
Citra
adalah gambaran tentang realitas-yang bisa jadi-tidak sesuai dengan realitas
(Water Lippman,1965). Citra terbentuk dari informasi yang diterima, utamanya
dari medai massa cetak dan elektronik yang bekerja membentuk, mempertahankan
atau meredefinisikan citra.
Menurut
Nimmo (1978). Citra adalah segala hal yang berkaitan dengan situasi keseharian
seseorang, menyangkut pengetahuan, perasaan dan kecenderungan terhadap sesuatu.
Nimmo menyebutkan bahwa, citra seseorang tentang politik yang terjalin melalui
pikiran, perasaan dan kesucian subjektif akan memberi kepuasaan baginya, paling
tidak memiliki tiga kegunaan, yaitu:
1. Betapapun benar atau
salah, lengkap tidak lengkap. Pengetahuan orang tentang politik memberi jalan
pada seseorang untuk memahami sebuah peristiwa politik tertentu.
2. Kesukaan dan
ketidaksukaan umum pada citra seseorang tentang politik menyajikan dasar untuk
menilai objek politik.
3. Citra diri seseorang
memberikan cara menghubungkan diri dengan orang lain.
Sebagai
bagian dari komunikasi politik, pencitraan politik memang dilakukan secara
persuasif untuk memperluas arsiran wilayah harapan antara kandidat dengan
pemilih. Corner dan Pels mencatat baik figur-figur yang bersih maupun
bermasalah sama-sama secara substansial bekerja keras membangun citra politik
untuk mempengaruhi pemilih. Citra menjadi faktor sukses tidaknya sebuah
perjalanan kampanye, sebagaimana tergambar dalam tabel berikut.
Faktor yang menentukan dalam
kampanye:
Faktor
|
Skala
1-5
|
Citra
|
1,22
|
Kemampuan
berkomunikasi melalui media
|
1,26
|
Kehadiran
di media
|
1,33
|
Pesan
kampane
|
1,67
|
Kualitas
kepemimpinan
|
1,72
|
Kompetensi
isu
|
1,95
|
Kemampuan
retorika
|
2,10
|
Dukungan
partai
|
2,14
|
penampilan
& kebiasaan pribadi
|
2,30
|
Konsultan
media
|
2,48
|
Pengalaman
politik
|
2,59
|
Proses
pengambilan keputusan tidak selamanya dipengaruhi oleh pengetahuan pemilih
tentang program-program partai ataupun informasi yang membangun brand politik,
tetapi proses itu dapat dipengaruhi oleh impression (keterkesanan) dan nonrational
evaluation criteria (kriteria yang tidak rasional yang dipakai pemilih
dalam mengevaluasi para kandidat/parpol).
Menyingkapi
perkembangan politik dalam pentas demokrasi indonesia, Gazali menilai dalam
level sederhana politik pencitraan termasuk political marketing, karena
kandidat dipasarkan mirip menjual sebuah produk. Jika lebih canggih, bisa
dikategorikan politik komunikasi, yaitu politisi mensosialisasikan kebijakan
secara subtansial dengan cara-cara yang memikat publik.
Citra dan popularitas
Citra
baik dengan sendirinya meningkatkan popularitas dan elektabilitas kandidat,
begitupun sebaliknya. Sehingga, tidak salah bila politisi “jumpalitan”
melakukan pencitraan politik. Karena semakain dapat menampilkan citra yang
baik, maka peluang mendapat dukungan pemilih semakin besar.
Dalam
komunikasi politik, citra-citra yang tampil dalam jumlah yang banyak, frekuensi
tinggi, dan waktu cepat menyebabkan pesan-pesan yang disampaikan tidak lagi
menarik perhatian publik. Menurut Yusri Amir Piliang, proses ini dapat dilihat
dalam beberapa logika, yakni: pertama, logika kecepatan (speed), saat
ada kecenderungan di kalangan tim pemenang mengerahkan segala potensi dan
pembendaharaan tanda, citra dan narasi dalam waktu yang dipadatkan sehingga
pada satu titik akan menimbulkan kejenuhan publik.
Kedua,
logika ekstasi komunikasi (ecstacy of commnication), yaitu ekstenti
dalam penampakan citra diri (appearance) secara berlebihan tanpa
mempertimbangkan kaitan antara penayangan dan kondisipsikologi massa. Ketiga,
logika tontonan(spectacle), yaitu kampanye politik capres dan wacapres yang
telah bergeser kearah tontonan massa, dengan mengikuti tontonan pada umumnya,
yaitu memberi hiburan, kesenangan, kepuasan semaksimal mungkin tanpa ada ruang
untuk menginternalisasikan makna-makna politik yang sesungguhnya.
Keempat,
logika simulakrum, yaitu eksplorasi pembendaharaan tanda dan citra secara
berlebihan dan “melampaui batas” sehingga antara citra politik yang ditawarkan
dan realitas capres-cawapres yang sebenarnyaada jurang amat dalam. Seperti
capres-cawapres yang dicitrakan “sederhana”, “bersahaja”, dan “merakyak”
padahal hidup dalam kemewahan dan kelimpahan harta. Kelima, logika mitologisasi
(mithologisation), berbagai bentuk mitos, fantasi, dongeng, fantasi
-yang bukan bagian realitas capres-cawapres- ditampilkan seakan realitas yang
sebenarnya, seperti tentang keturunan, asal usul, kesuksesan atau kebesaran
masa lalu yang sebenarnya bukan realitas masa kini.
Keenam,
logika pencitraan sempurna (perfection of image), yaitu penggambaran capres-cawapres
sebagai sosok yang sempurna, seakan-akan tanpa cacat, kelemahan dan dosa. Ketujuh,
logika budaya populer (popular cultur), yaitu menampilkan citra-citra
dangkal, permukaan, dan populer dalam rangka mendekatkan seorang
capres-cawapres dengan massa populer (pipular mass). Inilah iklan
politik yang menggunakan anak sekolah, bahasa gaul, selebriti guna menarik
massa. Kedelapan, logika obesitas (obesity) yaitu terlalu padat,
cepat, dan tinggi frekuensi penayangan citra-citra iklan politik, sehingga
menimbuklan sebuah kondisi terlalu mengembungkan tanda dan informasi yang tidak
sebanding dengan kemampuan publik dalam memersepsikan, menerima, membaca,
memaknai, dan menginternalisasikannya dalam sebuah sikap atau preferensi
politik.
Untuk
menghindari proses pencintraan dari hal tersebut, maka dibutuhkan manajemen
pencitraan (management of image) yang efektif sehingga di satu pihak
citra dapat menarik perhatian dan simpati publik, di pihak lain ataupun menjadi
ajang pendidikan politik.
Persuasi dan manajemen
pencitraan
Johnston
(1994) mendefinisikan Persuasi sebagai proses traksaksional antara dua orang
atau lebih dimana terjadi upaya merekonstruksi realitas melalui pertukaran
makna simbol yang kemudian menghasilkan perubahan kepercayaan, sikap atau perilaku
secara sukarela. Sebagai bagian dari persuasi, pencitraan dapat dilakukan
melalui berbagai strategi, mulai dari yang paling sederhana/tradisional sampai
yang paling modern. Pencitraan dalam komunikasi politik sangat tergantung
dengan usaha-usaha persuasi yang dilakukan sesuai dengan tujuan yang diinginkan
oleh persuader terhadap the persuadee. Dalam hal ini dibutuhkan
manajemen pencitraan atau satu penataan dan pengelolaan suatu kegiatan yang
mempunyai dampai positif (baik) terhadap nama baik individu maupun kelompok
(organisasi, partai, dll).
Dalam pencitraan terdapat dua elemen
dasar, yaitu:
1. Positioning: seperti
apakah pelaku politik ‘ditempatkan’ dalam pikiran penerima pesan politik.
2. Memory: bagaimana
‘kesan terhadap pelaku politik’ di-hold dalam pikiran penerima pesan
politik.
Untuk
mencapai dua elemen dasar di atas, dibutuhkan persuasi atau usaha meyakinkan oang
lain untuk berbuat dan bertindak seperti yang diharapkan tanpa paksaan
(Widjaja, 2002:67).
Dalam
proses persuasi untuk pencitraan politik, elemenkognitif dan afektif harus
ditempatkan secara bersamaan, antara lain elemen perasaan (perasaan suka atau
tidak suka terhadap sebuah konsep atau objek). Elemen kepercayaan gambaran
pengetahuan tentang objek dan konsep tertentu) dan elemen perilaku (cara
meresponkonsep atau objek). Lebih jauh citra dapat diasumsikan sebagai sebuah
model dari proses membuat perumpamaan yang di dalam ilmu psikologi dijelaskan
sebagai proses dimana penerima pesan membangun sendiri makna (dari hasil
pengamatan subjektifnya) dari realitas yang dilihatnya atau simbol yang
dikirimkan dari sang pengirim pesan Grinig, 1993 dalam Newman, 1999:354).
Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa citra merupakan gambaran yang utuh
tentang seorang figur/kandidat yang tersimpan dibenak pemilih.
=oo=
0 komentar:
Posting Komentar