Selasa, 30 Mei 2017

Opini publik dan pencintraan


            Cinta terbentuk berdasarkan informasi yang diterima oleh publik, baik secara langsung maupun melalui media massa. Citra kepada publik terwujud sebagai konsekuensi kognitif dari komunikasi. Citra politik dapat dirumuskan sebagai suatu gambaran tentang politik (kekuasaan, kewewenangan, autoritas, konflik dan konsensus) yang memiliki makna, walaupun tidak selamanya sesuai dengan realitas. Citra poitik tersusun melalui persepsi yang bermakna tentang gejala politik dan kemudian menyatakan makna itu melalui kepercayaan, nilai dan pengharapan dalam bentuk pendapat pribadi yang selanjutnya dapat berkembang menjadi pendapat umum.
            Pencitraan politik yang sangat menonjol sekarang ini adalah industri media massa, dimana media memiliki kemampuan dalam mengkontruksi realitas. Artinya, kekuatan dalam mengemas berbagai isu yang ada, sehingga menonjol ke permukaan dan akhirnya menjadi perbincangan publik (public discourse) yang menarik. Penguasaan atas media tentu dapat menguasai opini publik dan akan memudahkan mengarahkan kecenderungan pilihan khalayak sesuai dengan yang diharapkan.
            Opini dalam perspektik komunikasi daipandang sebagai respon aktif terhadap stimulus yakni respon yang dikontruksi melalui interpretasi pribadi yang berkembang dari citra dan menyumbang citra. Maka sangat strategis bagi politisi yang bertarung memiliki perhatian pada politik pengemasan opini publik.
            Meskipun realitas media merupakan polesan yang tidak sesuai dengan fakta dan realitas tetapi banyak juga khalayak yang begitu saja menerima informasi dari media massa, baik karena rendahnya pendidikan ataupun karena kelalaian. Hal ini menunjukkan bahwa media massa dapat membentuk citra politik individu-individu yang menjadi khalayak media massa kearah yang dikehendakinya. Media massa juga dapat mempertahankan citra politik yang sudah dimilikinya, kedua hal ini dilakukan oleh media melalui getekeeping dan agenda setting.
            Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa berita politik, tokoh politik partai politik dan kebijakan politik dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda dan citra politik yang berbeda bagi masing-masing orang.
Pencitraan politik
            Citra adalah gambaran tentang realitas-yang bisa jadi-tidak sesuai dengan realitas (Water Lippman,1965). Citra terbentuk dari informasi yang diterima, utamanya dari medai massa cetak dan elektronik yang bekerja membentuk, mempertahankan atau meredefinisikan citra.
            Menurut Nimmo (1978). Citra adalah segala hal yang berkaitan dengan situasi keseharian seseorang, menyangkut pengetahuan, perasaan dan kecenderungan terhadap sesuatu. Nimmo menyebutkan bahwa, citra seseorang tentang politik yang terjalin melalui pikiran, perasaan dan kesucian subjektif akan memberi kepuasaan baginya, paling tidak memiliki tiga kegunaan, yaitu:
1.      Betapapun benar atau salah, lengkap tidak lengkap. Pengetahuan orang tentang politik memberi jalan pada seseorang untuk memahami sebuah peristiwa politik tertentu.
2.      Kesukaan dan ketidaksukaan umum pada citra seseorang tentang politik menyajikan dasar untuk menilai objek politik.
3.      Citra diri seseorang memberikan cara menghubungkan diri dengan orang lain.
            Sebagai bagian dari komunikasi politik, pencitraan politik memang dilakukan secara persuasif untuk memperluas arsiran wilayah harapan antara kandidat dengan pemilih. Corner dan Pels mencatat baik figur-figur yang bersih maupun bermasalah sama-sama secara substansial bekerja keras membangun citra politik untuk mempengaruhi pemilih. Citra menjadi faktor sukses tidaknya sebuah perjalanan kampanye, sebagaimana tergambar dalam tabel berikut.
            Faktor yang menentukan dalam kampanye:
Faktor
Skala 1-5
Citra
1,22
Kemampuan berkomunikasi melalui media
1,26
Kehadiran di media
1,33
Pesan kampane
1,67
Kualitas kepemimpinan
1,72
Kompetensi isu
1,95
Kemampuan retorika
2,10
Dukungan partai
2,14
penampilan & kebiasaan pribadi
2,30
Konsultan media
2,48
Pengalaman politik
2,59

            Proses pengambilan keputusan tidak selamanya dipengaruhi oleh pengetahuan pemilih tentang program-program partai ataupun informasi yang membangun brand politik, tetapi proses itu dapat dipengaruhi oleh impression (keterkesanan) dan nonrational evaluation criteria (kriteria yang tidak rasional yang dipakai pemilih dalam mengevaluasi para kandidat/parpol).
            Menyingkapi perkembangan politik dalam pentas demokrasi indonesia, Gazali menilai dalam level sederhana politik pencitraan termasuk political marketing, karena kandidat dipasarkan mirip menjual sebuah produk. Jika lebih canggih, bisa dikategorikan politik komunikasi, yaitu politisi mensosialisasikan kebijakan secara subtansial dengan cara-cara yang memikat publik.
Citra dan popularitas
            Citra baik dengan sendirinya meningkatkan popularitas dan elektabilitas kandidat, begitupun sebaliknya. Sehingga, tidak salah bila politisi “jumpalitan” melakukan pencitraan politik. Karena semakain dapat menampilkan citra yang baik, maka peluang mendapat dukungan pemilih semakin besar.
            Dalam komunikasi politik, citra-citra yang tampil dalam jumlah yang banyak, frekuensi tinggi, dan waktu cepat menyebabkan pesan-pesan yang disampaikan tidak lagi menarik perhatian publik. Menurut Yusri Amir Piliang, proses ini dapat dilihat dalam beberapa logika, yakni: pertama, logika kecepatan (speed), saat ada kecenderungan di kalangan tim pemenang mengerahkan segala potensi dan pembendaharaan tanda, citra dan narasi dalam waktu yang dipadatkan sehingga pada satu titik akan menimbulkan kejenuhan publik.
            Kedua, logika ekstasi komunikasi (ecstacy of commnication), yaitu ekstenti dalam penampakan citra diri (appearance) secara berlebihan tanpa mempertimbangkan kaitan antara penayangan dan kondisipsikologi massa. Ketiga, logika tontonan(spectacle), yaitu kampanye politik capres dan wacapres yang telah bergeser kearah tontonan massa, dengan mengikuti tontonan pada umumnya, yaitu memberi hiburan, kesenangan, kepuasan semaksimal mungkin tanpa ada ruang untuk menginternalisasikan makna-makna politik yang sesungguhnya.
            Keempat, logika simulakrum, yaitu eksplorasi pembendaharaan tanda dan citra secara berlebihan dan “melampaui batas” sehingga antara citra politik yang ditawarkan dan realitas capres-cawapres yang sebenarnyaada jurang amat dalam. Seperti capres-cawapres yang dicitrakan “sederhana”, “bersahaja”, dan “merakyak” padahal hidup dalam kemewahan dan kelimpahan harta. Kelima, logika mitologisasi (mithologisation), berbagai bentuk mitos, fantasi, dongeng, fantasi -yang bukan bagian realitas capres-cawapres- ditampilkan seakan realitas yang sebenarnya, seperti tentang keturunan, asal usul, kesuksesan atau kebesaran masa lalu yang sebenarnya bukan realitas masa kini.
            Keenam, logika pencitraan sempurna (perfection of image), yaitu penggambaran capres-cawapres sebagai sosok yang sempurna, seakan-akan tanpa cacat, kelemahan dan dosa. Ketujuh, logika budaya populer (popular cultur), yaitu menampilkan citra-citra dangkal, permukaan, dan populer dalam rangka mendekatkan seorang capres-cawapres dengan massa populer (pipular mass). Inilah iklan politik yang menggunakan anak sekolah, bahasa gaul, selebriti guna menarik massa. Kedelapan, logika obesitas (obesity) yaitu terlalu padat, cepat, dan tinggi frekuensi penayangan citra-citra iklan politik, sehingga menimbuklan sebuah kondisi terlalu mengembungkan tanda dan informasi yang tidak sebanding dengan kemampuan publik dalam memersepsikan, menerima, membaca, memaknai, dan menginternalisasikannya dalam sebuah sikap atau preferensi politik.
            Untuk menghindari proses pencintraan dari hal tersebut, maka dibutuhkan manajemen pencitraan (management of image) yang efektif sehingga di satu pihak citra dapat menarik perhatian dan simpati publik, di pihak lain ataupun menjadi ajang pendidikan politik.
Persuasi dan manajemen pencitraan
            Johnston (1994) mendefinisikan Persuasi sebagai proses traksaksional antara dua orang atau lebih dimana terjadi upaya merekonstruksi realitas melalui pertukaran makna simbol yang kemudian menghasilkan perubahan kepercayaan, sikap atau perilaku secara sukarela. Sebagai bagian dari persuasi, pencitraan dapat dilakukan melalui berbagai strategi, mulai dari yang paling sederhana/tradisional sampai yang paling modern. Pencitraan dalam komunikasi politik sangat tergantung dengan usaha-usaha persuasi yang dilakukan sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh persuader terhadap the persuadee. Dalam hal ini dibutuhkan manajemen pencitraan atau satu penataan dan pengelolaan suatu kegiatan yang mempunyai dampai positif (baik) terhadap nama baik individu maupun kelompok (organisasi, partai, dll).
            Dalam pencitraan terdapat dua elemen dasar, yaitu:
1.      Positioning: seperti apakah pelaku politik ‘ditempatkan’ dalam pikiran penerima pesan politik.
2.      Memory: bagaimana ‘kesan terhadap pelaku politik’ di-hold dalam pikiran penerima pesan politik.
            Untuk mencapai dua elemen dasar di atas, dibutuhkan persuasi atau usaha meyakinkan oang lain untuk berbuat dan bertindak seperti yang diharapkan tanpa paksaan (Widjaja, 2002:67).
            Dalam proses persuasi untuk pencitraan politik, elemenkognitif dan afektif harus ditempatkan secara bersamaan, antara lain elemen perasaan (perasaan suka atau tidak suka terhadap sebuah konsep atau objek). Elemen kepercayaan gambaran pengetahuan tentang objek dan konsep tertentu) dan elemen perilaku (cara meresponkonsep atau objek). Lebih jauh citra dapat diasumsikan sebagai sebuah model dari proses membuat perumpamaan yang di dalam ilmu psikologi dijelaskan sebagai proses dimana penerima pesan membangun sendiri makna (dari hasil pengamatan subjektifnya) dari realitas yang dilihatnya atau simbol yang dikirimkan dari sang pengirim pesan Grinig, 1993 dalam Newman, 1999:354). Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa citra merupakan gambaran yang utuh tentang seorang figur/kandidat yang tersimpan dibenak pemilih.

=oo=

0 komentar:

Posting Komentar

 

Nona Alviena Published @ 2014 by Ipietoon